Minggu, 11 Mei 2014

Sejarah Baptisan Air


Artikel Sejarah Baptisan Air ini disarikan dari tulisan Ps. Bobby M.Th. Dimulai dengan sejarah mengenai asal mula berkembangnya tradisi baptisan percik dalam gereja.

Dari hasil penelitian ada 5 faktor yang dapat ditulis:

Pertama: Kitab Didache (diperkirakan ditulis sekitar tahun 100-120) yg ditemukan pada tahun 1873 oleh Philotheos Bryennios, Direktur Sekolah Tinggi Teologi Yunani di Konstantinopel dan dipublikasikan pada 1883, memuat cara baptis secara percik sebagai pengganti cara baptis selam, jika jumlah air yang dibutuhkan tidak memadai.

Berikut teksnya, “Concerning Baptism. And concerning baptism, baptize this way: Having first said all these things, baptize into the name of the Father, and of the Son, and of the Holy Spirit, in living water. But if you have no living water, baptize into other water; and if you cannot do so in cold water, do so in warm. But if you have neither, pour out water three times upon the head into the name of Father and Son and Holy Spirit. But before the baptism let the baptizer fast, and the baptized, and whoever else can; but you shall order the baptized to fast one or two days before.“

Terjemahannya : Mengenai Pembaptisan. Dan mengenai pembaptisan, baptislah dengan cara ini: Pertama tama, baptislah dalam nama Bapa, dan Putera dan Roh Kudus, dengan air kehidupan. Tapi jika tidak ada padamu air kehidupan, baptislah kedalam air yang lain, dan kalau kamu tidak dapat melakukannya dalam air dingin, lakukanlah dengan air hangat. Tapi kalau kamu tidak juga punya semua itu, curahkanlah air tiga kali diatas kepala dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Namun sebelum pembaptisan hendaknya pembaptis berpuasa, dan yang dibabtis, dan siapapun yang dapat melakukannya, tapi kamu harus meminta orang yang akan dibaptis untuk berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya.

Perlu dicatat juga bahwa tidak diketahui secara pasti, apakah kitab “Didache” itu telah tersebar scara universal ke seluruh gereja pada waktu itu (abad 2 ) atau hanya digunakan jemaat setempat. Penemuan kitab itu pada tahun 1873 hanya seputar teks dalam kitab tersebut.

Kedua: dalam buku History of the Christian ChurchVolume II,karangan Philip Schaff, pada halaman 191, ditulis bahwa baptisan percik mulai dilakukan gereja Katolik pada awalnya terhadap orang yang sakit (orang yang bertobat tersebut menderita sakit, sehingga tidak mungkin dilakukan baptisan selam) di tempat tidurnya. Kondisi “sakit berat” merupakan alasan bagi dilakukannya baptisan secara percik pada waktu itu.

Eusebius dari Caesarea (263 – 339), yang dikenal sebagai bapak sejarah gereja perdana (karena dialah yang pertama kali menulis buku sejarah gereja yan lengkap)  menulis bahwa Novatian (250) pernah dilarang untuk menjadi pejabat gereja, karena dahulunya ia dibaptis secara percik (saat itu ia sedang sakit keras).  

Selengkapnya: The first specifically documented case of sprinkling involved a man by the name of Novatian (cir. A.D. 250), who lived in Rome. Novatian was believed to be at the point of death, and so was sprinkled in his sick bed. However, the case was very unusual. Eusebius of Caesarea (cir. A.D. 263-339), known as the father of church history, described the incident. He wrote that Novatian thereafter was restricted from being appointed as a church officer. Why was this? Because it was not deemed “lawful” that one administered “baptism” by “aspersion” (percik), as he was, should be promoted to the order of the clergy” (Eusebius: Ecclesiastical History, VI.XLIII).

Ketiga: Cyprian adalah tokoh gereja yang pertama kali “mengijinkan” penggunaan baptisan percik sebagai substitusi dari baptisan selam apabila ada kebutuhan yang mendesak, misalnya dalam kasus orang yang akan menjadi Kristen dan dibaptis itu sedang sakit keras. (The first defense of sprinkling was offered by Cyprian (cir. A.D. 200-258), a writer in Carthage, who allowed sprinkling as a substitute for immersion, but only when “necessity compels” — as in the case of acute sickness (Epistle lxxv).

Keempat: informasi mengenai asal mula baptisan percik yang saya dengar dari dosen di Institut Teologi Dan Keguruan Indonesia (Seminary Bethel) Petamburan, Jakarta, yaitu Pdt. Thomas Bimo, M.Th pada mata kuliah Teologi Perjanjian Baru. Beliau mengatakan tradisi baptisan percik berawal tatkala seluruh kekaisaran Romawi harus memeluk agama Kristen, karenaKaisar Theodosius di tahun 380 M, mengeluarkan “dekrit/edict Theodosius” yang isinya mengatakan bahwa “Agama kekaisaran Romawi adalah agama Kristen“.

Dampak dari keputusan tersebut, adalah Kristenisasi massal di seluruh wilayah kekaisaran Romawi (Kalau tidak menjadi Kristen, akan berhadapan dengan tentara Romawi dan dihukum). Akibat kristenisasi massal tersebut, maka terjadilah baptisan selam besar-besaran. Situasi yang seperti itu, membuat kolam-kolam dan sungai-sungai menjadi sangat sesak. Akibatnya untuk memudahkan, maka orang-orang tersebut akhirnya dipercik dengan air. Alasan “praktis” yang terjadi karena sikon yang darurat itu, kemudian dijadikan “tradisi” oleh gereja Katolik (ingat saat itu di Barat, tidak ada aliran2 gereja, hanya ada gereja Katolik).

Demikianlah Gereja Katolik kemudian mempraktekkan dua macam baptisan, yaitu “selam = immersion” dan “percik = pouring/sprinkling) dalam kehidupan rohani gereja. Baptis percik dilakukan apabila ada kondisi yang tidak memungkinkan dilakukannya baptisan selam, misalnya orang yang akan dibaptis tersebut sedang sakit keras, ataupun situasi darurat lainnya.

Thomas Aquinas (1225-1274), salah seorang teolog terkemuka gereja katolik, pernah menyatakan bahwa baptisan selam adalah metode yang lebih “aman” meskipun ia juga mengakui baptisan dengan cara percik atau curah. (Thomas Aquinas (cir. A.D. 1225-1274), one of the most prominent Catholic theologians, acknowledged that immersion was the “safer” mode, though he allowed sprinkling or pouring). (Sumber: http://www.newadvent.org/summa/4066.htm)

Penggunaan baptisan percik yang terbatas dalam sikon darurat tsb, dikukuhkan dalam “the Council of Nemours” (A.D. 1284) yang mengeluarkan kebijakan bahwa “limited sprinkling to cases of necessity.”

Kelima: akhirnya di tahun 1311 dalam Konsili Ravenna, Gereja Katolik meresmikan “baptisan percik” sebagaisatu-satunya cara baptis yang dilakukan gereja. Alasannya adalah baptisan selam tidak lagi penting sebab cara baru yaitu dengan dipercik adalah cara baptis yang dipakai gereja. (Baptism went for many years without change until the Catholic Church made the distinction that full immersion was no longer necessary in 1311 at the Council of Ravenna. They determined that full immersion was unnecessary and the term ‘pouring’ was the new accepted way of performing the baptism).

Demikianlah baptisan percik menjadi satu-satunya cara membaptis bagi petobat baru yang dipakai oleh Gereja Katolik sejak tahun 1311.


Dalam buku berjudul Historical Exhibition of Administration of Baptism, hlm 306,  seorang imam Gereja Katolik, Brenner, memberikan pernyataan mengenai hal ini “Selama 1300 tahun, baptisan umumnya dan biasanya dilakukan dengan menyelamkan seseorang ke dalam air, dan pada kasus yang luar biasa, percik atau menyiram air dilakukan. Kemudian belakangan ditolak sebagai metode baptisan, bahkan dilarang.” (For thirteen hundred years was baptism generally and regularly an immersion of the person under the water, and only in extraordinary cases a sprinkling or pouring of water; the latter was moreover, disputed as a mode of baptism, nay even forbidden).

Setelah reformasi Protestan yang dimotori Martin Luther pada tahun 1517, aliran-aliran dalam gereja Protestan banyak yang kembali pada baptisan selam (immersion) (Yunani: baptizo) seperti yang tertulis literal di Alkitab dan juga tradisi gereja (kira-kira tahun 30 M – 1311 M), namun ada juga yg tetap mempertahankan tradisi baptisan percik.

Referensi
1. Eusebius (1955 ed.), Ecclesiastical History (Grand Rapids: Baker Book House).
2. Philip Schaff, History of The Christian Church, Volume II
6. Wikipedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar