Artikel Sejarah Baptisan Air ini disarikan dari tulisan Ps. Bobby M.Th. Dimulai dengan sejarah mengenai asal mula berkembangnya tradisi baptisan
percik dalam gereja.
Dari hasil penelitian ada 5 faktor yang dapat ditulis:
Pertama: Kitab Didache (diperkirakan
ditulis sekitar tahun 100-120) yg ditemukan pada tahun 1873 oleh Philotheos
Bryennios, Direktur Sekolah Tinggi Teologi Yunani di
Konstantinopel dan dipublikasikan pada 1883, memuat cara baptis secara percik
sebagai pengganti cara baptis selam, jika jumlah air yang dibutuhkan
tidak memadai.
Berikut teksnya, “Concerning Baptism. And
concerning baptism, baptize this way: Having first said all these things,
baptize into the name of the Father, and of the Son, and of the Holy Spirit, in
living water. But if you have no living water, baptize into other water; and if
you cannot do so in cold water, do so in warm. But if you
have neither, pour out water three times upon the head into
the name of Father and Son and Holy Spirit. But before the baptism let the
baptizer fast, and the baptized, and whoever else can; but you shall order the
baptized to fast one or two days before.“
Terjemahannya : Mengenai
Pembaptisan. Dan mengenai pembaptisan, baptislah dengan cara ini: Pertama tama,
baptislah dalam nama Bapa, dan Putera dan Roh Kudus, dengan air kehidupan. Tapi
jika tidak ada padamu air kehidupan, baptislah kedalam air yang lain, dan kalau
kamu tidak dapat melakukannya dalam air dingin, lakukanlah dengan air hangat.
Tapi kalau kamu tidak juga punya semua itu, curahkanlah air
tiga kali diatas kepala dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Namun
sebelum pembaptisan hendaknya pembaptis berpuasa, dan yang dibabtis, dan siapapun
yang dapat melakukannya, tapi kamu harus meminta orang yang akan dibaptis untuk
berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya.
Perlu dicatat juga bahwa tidak diketahui secara
pasti, apakah kitab “Didache” itu telah tersebar scara universal ke seluruh gereja
pada waktu itu (abad 2 ) atau hanya digunakan jemaat setempat. Penemuan kitab
itu pada tahun 1873 hanya seputar teks dalam kitab tersebut.
Kedua: dalam buku History
of the Christian Church, Volume II,karangan Philip
Schaff, pada halaman 191, ditulis bahwa baptisan percik mulai
dilakukan gereja Katolik pada awalnya terhadap orang yang sakit (orang
yang bertobat tersebut menderita sakit, sehingga tidak mungkin dilakukan
baptisan selam) di tempat tidurnya. Kondisi “sakit berat” merupakan alasan bagi
dilakukannya baptisan secara percik pada waktu itu.
Eusebius dari Caesarea (263 – 339), yang
dikenal sebagai bapak sejarah gereja perdana (karena dialah yang pertama kali
menulis buku sejarah gereja yan lengkap) menulis bahwa Novatian (250)
pernah dilarang untuk menjadi pejabat gereja, karena dahulunya ia dibaptis
secara percik (saat itu ia sedang sakit keras).
Selengkapnya: The
first specifically documented case of sprinkling involved a man by the name of
Novatian (cir. A.D. 250), who lived in Rome. Novatian was believed to be at the
point of death, and so was sprinkled in his sick bed. However, the case was
very unusual. Eusebius of Caesarea (cir. A.D. 263-339), known as the father of
church history, described the incident. He wrote that Novatian thereafter was
restricted from being appointed as a church officer. Why was this? Because it
was not deemed “lawful” that one administered “baptism” by “aspersion” (percik),
as he was, should be promoted to the order of the clergy” (Eusebius:
Ecclesiastical History, VI.XLIII).
Ketiga: Cyprian adalah
tokoh gereja yang pertama kali “mengijinkan” penggunaan baptisan percik sebagai
substitusi dari baptisan selam apabila ada kebutuhan yang mendesak, misalnya
dalam kasus orang yang akan menjadi Kristen dan dibaptis itu sedang sakit
keras. (The first defense of sprinkling was offered by Cyprian (cir. A.D.
200-258), a writer in Carthage, who allowed sprinkling as a substitute for immersion,
but only when “necessity compels” — as in the case of acute sickness (Epistle
lxxv).
Keempat: informasi mengenai
asal mula baptisan percik yang saya dengar dari dosen di Institut Teologi Dan
Keguruan Indonesia (Seminary Bethel) Petamburan, Jakarta, yaitu Pdt. Thomas
Bimo, M.Th pada mata kuliah Teologi Perjanjian Baru. Beliau mengatakan tradisi
baptisan percik berawal tatkala seluruh kekaisaran Romawi harus memeluk agama
Kristen, karenaKaisar Theodosius di tahun 380 M,
mengeluarkan “dekrit/edict Theodosius” yang isinya mengatakan bahwa “Agama
kekaisaran Romawi adalah agama Kristen“.
Dampak dari keputusan tersebut,
adalah Kristenisasi massal di seluruh wilayah kekaisaran
Romawi (Kalau tidak menjadi Kristen, akan berhadapan dengan tentara Romawi
dan dihukum). Akibat kristenisasi massal tersebut, maka terjadilah baptisan
selam besar-besaran. Situasi yang seperti itu, membuat kolam-kolam dan
sungai-sungai menjadi sangat sesak. Akibatnya untuk memudahkan, maka
orang-orang tersebut akhirnya dipercik dengan air. Alasan
“praktis” yang terjadi karena sikon yang darurat itu, kemudian dijadikan
“tradisi” oleh gereja Katolik (ingat saat itu di Barat, tidak ada aliran2
gereja, hanya ada gereja Katolik).
Demikianlah Gereja Katolik kemudian mempraktekkan
dua macam baptisan, yaitu “selam = immersion” dan “percik
= pouring/sprinkling) dalam kehidupan rohani gereja. Baptis percik
dilakukan apabila ada kondisi yang tidak memungkinkan dilakukannya baptisan
selam, misalnya orang yang akan dibaptis tersebut sedang sakit keras, ataupun
situasi darurat lainnya.
Thomas Aquinas (1225-1274),
salah seorang teolog terkemuka gereja katolik, pernah menyatakan bahwa baptisan
selam adalah metode yang lebih “aman” meskipun ia juga mengakui baptisan dengan
cara percik atau curah. (Thomas Aquinas (cir. A.D. 1225-1274), one of the
most prominent Catholic theologians, acknowledged that immersion was the
“safer” mode, though he allowed sprinkling or pouring). (Sumber: http://www.newadvent.org/summa/4066.htm)
Penggunaan baptisan percik yang terbatas dalam
sikon darurat tsb, dikukuhkan dalam “the Council of Nemours”
(A.D. 1284) yang mengeluarkan kebijakan bahwa “limited sprinkling to
cases of necessity.”
Kelima: akhirnya
di tahun 1311 dalam Konsili Ravenna, Gereja Katolik meresmikan “baptisan
percik” sebagaisatu-satunya cara baptis yang dilakukan gereja. Alasannya adalah
baptisan selam tidak lagi penting sebab cara baru yaitu dengan dipercik adalah
cara baptis yang dipakai gereja. (Baptism went for many years without
change until the Catholic Church made the distinction that full immersion was
no longer necessary in 1311 at the Council of Ravenna. They determined that
full immersion was unnecessary and the term ‘pouring’ was the new accepted way
of performing the baptism).
Demikianlah baptisan percik menjadi satu-satunya
cara membaptis bagi petobat baru yang dipakai oleh Gereja Katolik sejak tahun
1311.
Dalam buku berjudul Historical
Exhibition of Administration of Baptism, hlm 306, seorang imam
Gereja Katolik, Brenner, memberikan pernyataan mengenai
hal ini “Selama 1300 tahun, baptisan umumnya dan biasanya dilakukan
dengan menyelamkan seseorang ke dalam air,
dan pada kasus yang luar biasa, percik atau menyiram air
dilakukan. Kemudian belakangan ditolak sebagai metode
baptisan, bahkan dilarang.” (For thirteen hundred years was
baptism generally and regularly an immersion of the person under the water, and
only in extraordinary cases a sprinkling or pouring of water; the latter was
moreover, disputed as a mode of baptism, nay even forbidden).
Setelah reformasi Protestan yang dimotori Martin
Luther pada tahun 1517, aliran-aliran dalam gereja Protestan banyak yang
kembali pada baptisan selam (immersion) (Yunani: baptizo)
seperti yang tertulis literal di Alkitab dan juga tradisi gereja (kira-kira
tahun 30 M – 1311 M), namun ada juga yg tetap mempertahankan tradisi baptisan
percik.
Referensi
1. Eusebius (1955 ed.), Ecclesiastical
History (Grand Rapids: Baker Book House).
2. Philip Schaff, History of The
Christian Church, Volume II
6. Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar